RSS

Jumat, 09 Mei 2014

Sayangilah keseriusan anak dalam berlomba


“Pak teteh mau ikutan lomba mewarnai kamis depan, bertiga dengan teman-teman sekolah… do’ain ya pak biar menang.” Kata anak pertamaku, yang masih duduk di bangku RA.

“Pasti atuh teteh, bapak pasti do’ain yang terbaik buat teteh… “. Kataku menjawab.

“tapi teteh harus berlatih yang giat tiap hari, kalau teteh pengen juara “. Lanjutku, memberikan nasihat.

Anakku pun giat berlatih mewarnai tiap hari, di rumah dan di sekolah. Kebetulan di sekolahnya pun disediakan les buat mewarnai. Alhasil kemampuan mewarnai anakku pun berkembang pesat. Konon menurut gurunya, dia sangat pantas menjadi juara pada lomba mewarnai yang akan datang , melihat kualitas mewarnai anakku. aku pun sangat senang mendengar berita tersebut, berarti kerja keras anakku ada hasilnya.


Lomba sendiri merupakan latihan bagi anak-anak untuk berani tampil dan berekspresi di depan umum. Dan, itu penting untuk proses pembelajaran hidup. Merasakan suasana kompetitif dan belajar menerima kekalahan dan kemenangan, akan membuat karakter anak-anak lebih berkembang .

Hari yang ditentukan untuk perlombaan mewarnai pun tiba. Sejak pagi anakku telah bersiap untuk mengikuti perlombaan. Aku antarkan anakku ke tempat perlombaan, dan di sepanjang perjalanan kembali aku nasihati dia untuk mengikuti lomba dengan sebaik-baiknya agar mendapatkan hasil terbaik.

Pulang kerja, aku lihat wajah anakku tidak ceria. Pasti tidak juara pikirku sambil tersenyum. Benar saja, ketika kutanyakan pada dia bagaimana lombanya, dia menjawab, “teteh gak menang pak, temen-temen teteh juga ngga… abis teteh mewarnai nya gak penuh…”.

Kalimat “Mewarnai gak penuh” membuatku penasaran. Aku kemudian menanyakan hal ini kepada gurunya, yang mendampingi anakku ketika lomba berlangsung. Ternyata yang dimaksud dengan “mewarnai gak penuh” itu adalah media yang disediakan untuk diwarnai terlalu luas, sehingga tidak akan cukup waktu untuk diselesaikan oleh anak-anak usia RA dengan rapih, indah, dan penuh. Sesuatu yang sangat aneh, ketika panitia dan dewan juri tidak mempertimbangkan lebar dan luas media untuk diwarnai dengan waktu yang disediakan untuk menyelesaikannya.

Kemudian yang lebih aneh lagi adalah keterangan guru anakku selanjutnya. Yang jadi pemenang itu adalah yang bisa mewarnai medianya dengan penuh, walaupun tidak bagus dan indah. jika dibandingkan dengan hasil mewarnai anakku dan teman-temannya, lebih bagus dan indah mereka daripada yang jadi juara.

Lomba mewarnai ya lomba mewarnai, yang dinilai adalah kerapihan dan keindahan hasilnya, bukan penuh tidaknya media diwarnai. Apakah putih bukan sebuah warna? Kita anggap saja media yang kosong yang belum diwarnai itu telah berwarna, yaitu warna putih. Jadi penuh juga kan semua media dengan warna.

Tidak selamanya yang terbaik menang, tidak selamanya yang bekerja lebih keras mendapat lebih. Di dunia ini ada yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, inkonsistensi, ketidakprofesionalan, dan berbagai keburukan lebih besar yang akan anak-anak hadapi.

Allah Maha Melihat usaha hamba-Nya. Bukan piala, melainkan berikhtiar untuk menjadi yang terbaik merupakan proses yang menentukan di masa depan.

Dengan dukungan orang tua, anak-anak yang kalah lomba tetap bisa melanjutkan kehidupan tanpa beban. Ada banyak anak yang berlatih keras tampil bagus, tapi kalah karena kesalahan juri atau sistem lomba yang tidak tepat, harus menanggung lebih banyak akibat yang beberapa di antaranya tak berkorelasi dengan lomba itu sendiri.

Karenanya, semua pihak harus berusaha yang terbaik. Tidak boleh bersikap asal dengan kesungguhan anak-anak mengikuti lomba. Jika tidak serius, lebih baik perlombaan tidak usah diadakan, tidak usah menjadi juri.

Sementara itu, penting bagi orang tua dan pendidik yang mungkin sering diminta menjadi juri untuk bertindak profesional. Sebab, tahapan kehidupan anak-anak saat ini, mungkin saja menjadi titik paling menentukan yang memengaruhi pencapaian mereka pada masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar