seringkali seremoni mengenang peristiwa
tersebut di kalangan masyarakat Muslim lebih menyerupai ajang mendengarkan
dongeng tentang tahap-tahap perjalanan malam beliau dari Mekah ke Palestina,
lalu menanjak menembus langit ke tujuh.
Dari waktu ke waktu, mimbar-mimbar peringatan
Isra Mi’raj hanya berceloteh tentang “bagaimana” ketimbang “mengapa” peristiwa
itu terjadi. Maka makna dan pesan penting bagi transformasi sosial dan moral umat
manusia dari peristiwa itu pun lebih kerap tertimbun oleh ritual perayaan
tahunan yang makin sarat nuansa hiburan, interest politik dan pencitraan
kesalehan.
Transformasi Moral
Satu-satunya ibadah dalam Islam yang
prosesi pewajibannya dengan cara “mengundang langsung“ Nabi-Nya ke Sidratil
Muntaha adalah shalat. Dari cara Allah mengundang Nabi SAW untuk mendekat dan
berdialog langsung dengan-Nya, shalat merupakan ibadah mahdhah yang tujuan
utamanya adalah pendekatan diri secara dialogis dengan Allah yang Mahabesar.
Shalat sebagai barometer seluruh amal
ibadah Muslim. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Amal manusia yang pertama
kali dinilai oleh Allah adalah shalatnya; jika shalatnya baik (sempurna) maka
amal-amal yang lain juga akan baik, sebaliknya jika shalatnya rusak maka
amal-amal yang lain juga rusak.“ (HR Thabrani).
Umat Islam, tentu, perlu belajar shalat
transformatif agar shalat kita menjadi lebih bermakna, tidak sekadar
menggugurkan kewajiban. Artinya, jika ada orang yang mengaku sudah shalat
tetapi masih hobi korupsi, terus-menerus berbohong, dan melakukan perilaku
amoral lainnya, berarti shalatnya belum khusyuk, belum transformatif, baru
sekadar shalat legal-formal.
Transformasi Sosial
Ali
Syariati (dalam bukunya Sosialisme Islam) mengatakan bahwa semua Nabi dan Rasul
di utus oleh Allah SWT bukan hanya untuk mengajarkan ummatnya bagaimana tata
cara sholat, dzikir dan doa, namun lebih dari itu mereka di utus untuk
mentransformasi kehidupan sosial.
Nabi
Musa as melawan Raja Fir’aun, Nabi Ibrahim as menentang Raja Namrud, Nabi Isa
as yang melawan penguasa Romawi yang akhirnya meninggal di atas salib, Nabi
Muhammad SAW yang menentang kaum Qurays di tanah arab.
Substansi
dari perlawanan yang di lakukan bukan hanya disebabkan karena keingkaran atas
eksistensi Tuhan, namun di karenakan ketimpangan sosial yang terjadi pada saat
itu.
Mencermati
situasi sosial masyarakat Arab waktu itu, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat
dikatakan hadir sebagai simbol perlawanan kultural (counter of culture) atas
menggejalanya budaya yang serba materialis-hedonis.
Lalu
yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana wujud intrepretasi dari peristiwa
isra mi’raj dalam kehidupan sosial kontemporer. Ali Syariati mengatakan bahwa
bisa saja Raja Fir’aun dan Namrud beserta berhala-berhalanya telah musnah,
namun mereka telah berubah wujud dari bentuk lain yakni berhala modern, seperti
rasa takut kita, peguasa yang dzalim dan lain sebagainya.
Fenomena
yang terjadi di Negara Indonesia jika di ibaratkan seperti lagu Peterpan
“kepala di kaki dan kaki di kepala”. Hampir semua bidang serba terbalik,
pendidikannya, hukumnya, sosialnya, agamanya, ekonominya dam budayanya.
Semoga
kita mampu mengintrepretasi pesan dari peristiwa isra mi’raj dalam kehidupan sosial
kita masing-masing, bertransformasi dari kehidupan sosial yang buruk ke
kehidupan sosial yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar