Ada satu status teman di facebook tentang tunjangan sertifikasi guru yang
menarik perhatian saya, isi statusnya adalah :
"Isuk-isuk kuring ka atm BJB bade ngecek tunjangan profesi. Sup kartu
diasupkeun, bray monitor hurung, barang dibaca, kuring kacida reuwas & era
sabab aksara dina layar teh kieu :
'kuring geus bosen
ningali rupa anjen anu jol deui jol deui noongan duit sertifikasi, ceuk kuring
ge maneh teh gawe heula sing bener, ke ge kuring datang sorangan, jung
berangkat akhh, tuh barudak barongkeakan euweuh guruna !'
emh... Kuring teh
leos deui mulang bari pinuh ku karumasa... "
Status tersebut mungkin mencerminkan dan mewakili perasaan dan kondisi sebagian
guru-guru sekarang. Ah tapi mungkin juga itu hanya lelucon saja dan tidak
mewakili realitas guru yang sebenarnya.
Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, kita cukup tersenyum saja setelah
membaca status tersebut. Habis masalah. Tapi, kalau kemungkinan pertama yang
terjadi, ini yang bermasalah. Perlu kita bahas bersama.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada
guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar
profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan
sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Tujuan utamanya adalah
meningkatkan profesionalitas guru sehingga kinerjanya lebih baik dan kualitas
pendidikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya profesionalitas guru
tersebut.
Sebagai konsekuensi logis dari disandangnya predikat guru profesional,
maka guru yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi, yaitu
sejumlah uang yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok PNS tiap bulan.
Dengan adanya tunjangan tersebut diharapkan kesejahteraan para guru meningkat
dan yang lebih utama dan esensial adalah kualitas guru semakin baik dan kompetensinya
semakin terasah.
Melihat status diatas, jauh panggang dari api jika dikaitkan dengan
tujuan pemberian tunjangan sertifikasi guru. Sepertinya proses sertifikasi
kurang mampu membangun etos kerja guru tetapi justru membuat para guru haus
tunjangan. Jangankan berbicara tentang profesionalitas guru, melaksanakan
kewajiban utamanya saja (mengajar) sudah tidak mampu.
Tunjangan profesi seharusnya bukan menjadi tujuan utama dan bukan
segala-galanya. Semangat atau tidaknya mengajar bukan dikarenakan ada atau
tidaknya tunjangan profesi. Karena Mendidik merupakan panggilan jiwa, panggilan
hati nurani. Harus ada komitmen yang kuat untuk berusaha jadi guru yang professional.
Banyak contoh kehidupan guru yang meskipun kesejahteraannya kurang, tapi
komitmen terhadap pendidikan tetap tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang
gajinya sudah tinggi tapi tetap ogah-ogahan mengajar. Semua ini berpulang
kembali pada mentalitas guru tersebut.
Sebagai komparasi dan bahan refleksi saya kutip kisah inspiratif dari
guru di daerah terpencil yang kondisinya serba kesulitan, baik dari tunjangan kesejahteraan
guru maupun sarana dan prasarana pendidikannya.
Si Guru Kreatif dari Langkahan
Ada sebagian guru percaya bahwa menjadi sosok yang kreatif itu sulit.
Apalagi kalau ditambahi alasan gaji pas-pasan, mengajar di daerah pelosok,
media pembelajaran sangat terbatas, maka semakin yakinlah bahwa kreativitas itu
memang sulit dilakukan. Mungkin, hanya guru-guru istimewa saja yang bisa
kreatif. Lantas, apa benar jadi guru kreatif itu sulit?
Sebut saja namanya Siti Waliyati, anak yang terlahir dan mengabdikan
dirinya di pelosok desa. Sekarang dia mengajar di SDN 8 Langkahan (Aceh Utara).
Saya kaget bukan main, SDN 8 Langkahan terletak jauh sekali dari pusat kota.
Perlu waktu sekitar 1,5 – 2 jam dari kota Lhokseumawe agar bisa sampai di SDN 8
Langkahan. Jalannya cukup berliku dan berbatu, berdebu di musim kemarau, dan
berlumpur di kala hujan. Mobil tumpangan saya pernah terjebak lumpur, rombongan
babi hutan sempat menghadang, bahkan saya hampir nyasar ke hutan karena salah
jalan. Namun, bagi Siti, hal semacam ini sudah menjadi bagian dari
kesehariannya.
Gaji Siti sangat kecil kalau tidak mau kita sebut alakadarnya. Dia tak
pernah risau dengan statusnya sebagai guru honorer. Dia tak pernah berpikir
bisa jadi guru hebat nan kreatif karena segala akses pengembangan diri sungguh
sangat terbatas. Keikutsertaan menghadiri training guru bisa dihitung dengan
jari, buku referensi hampir jarang ditemukan. Supervisi dari kepala sekolah
tidak pernah rutin dijalani. Tapi, di sinilah kehebatan Siti sedang diuji.
Mungkinkah dia bisa jadi guru hebat dengan segala keterbatasan yang ada?
Jawabannya ternyata ditemukan juga. Lomba Inovasi Media Pembelajaran
Se-Kecamatan Langkahan menjadi saksi bisu atas perjuangan Siti menjadi guru
hebat nan kreatif. Lomba itu memberi tantangan khusus kepada peserta untuk
membuat inovasi media pembelajaran yang kreatif, orisinil, dan bisa digunakan
dalam kegiatan pembelajaran.
Ada 17 peserta yang lolos ke babak final. Saya ingat betul, Siti menjadi
peserta yang mendapat giliran tampil kedua untuk menyajikan hasil karyanya.
Bungkus rokok, potongan kayu-kayu kecil, potongan karet sendal jepit berbentuk
lingkaran, sedotan, dan sebuah balon, berhasil disulap menjadi mobil-mobilan.
Saya dibuat penasaran jadinya. Apa yang hendak ditunjukkan Siti kepada dewan
juri?
Dengan gaya khasnya, dia menjelaskan apa dan mengapa tujuan media itu
dibuat. Semua dewan juri menganggukkan kepala tanda memahami apa yang
disampaikan Siti. “Dengan alat ini, saya ingin membantu siswa memahami konsep
gaya,” urai Siti meyakinkan. Situasi menjadi sedikit tegang ketika Siti harus
mendemonstrasikan alat itu. Sesaat Siti menghela nafas, lalu meniup balon
dengan sedotan, dan diletakkannya balon itu di bagian rangka mobil, lalu apa
yang terjadi?
Sontak suara tepuk tangan riuh bergema di semua sudut ruangan, mobil itu
berhasil meluncur dengan bantuan udara yang keluar dari balon. Fantastis.
Beberapa dewan juri sempat pula meminta Siti melakukan hal itu berulang-ulang.
Wualah, orang tua aja senang bukan main belajar dengan alat ini, apalagi
anak-anak. Pikiran itu terlintas di benak saya.
Siti benar-benar berhasil menyihir dewan juri dengan kreativitasnya yang
tiada tara. Apalagi setelah melihat penampilan peserta lainnya, mereka hampir
tidak mampu menunjukkan aspek orisinalitas produk inovasi dan kemudahan bahan
yang akan dibuat media pembelajaran tersebut. Yang ada, mereka hanya membawa
contoh media pembelajaran yang sudah jadi dan bisa didapatkan di pasaran,
seperti globe, gambar-gambar hewan dan
tumbuhan, dan media sejenis lainnya.
Untuk dua hal ini, orisinalitas gagasan dan kreativitas meracik bahan
baku pembuatan media, Siti berhasil mengungguli peserta lainnya yang relatif
sudah memiliki pengalaman mengajar lebih lama dari Siti. Belum lagi kalau mau
dibandingkan dari aspek besar gaji yang diterima, frekuensi keikutsertaan
mengikuti training guru, dan keterasingan dari akses pengembangan diri lainnya,
Siti kalah telak dari kontestan lainnya yang sebagian besar sudah menjadi guru
PNS.
Ah, tapi apa hubungannya antara kreativitas dan besarnya gaji? Apa
memang betul senioritas dalam hal pengalaman mengajar berbanding lurus dengan
kreativitas? Status guru PNS atau honorer, berpengaruhkah pada sikap kreatif
seorang guru? Ah, Bu Siti mungkin tahu jawabannya.
“Ini baru awal, saya akan berjuang lebih keras lagi untuk menjadi guru
yang baik,” Siti sempat berujar di sela-sela acara pengumuman pemenang lomba.
Dan tekad itu dibuktikannya pula. Secara otodidak, Siti terus mempelajari
banyak hal untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Sampai akhirnya, dia
terpilih mewakili SDN 8 Langkahan untuk menjadi pembicara di Event Hari Guru
Nasional 2010 silam di Jakarta.
Apa yang dia bicarakan tidak jauh-jauh dari apa yang sudah dilakoninya
selama ini. PAIKEMI (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan
Islami), istilah populer yang kerap masih sulit dilakukan sebagian besar guru
yang belum sadar akan manfaat dari strategi mengajar ini. Guru yang usianya
terhitung masih sangat muda ini pun sangat konsisten mempraktikkan PAIKEMI di
kelasnya.
Kreatif, semua orang bisa miliki sifat ini. Kreativitas, menuntut proses
belajar tiada henti dan tidak pernah merasa berpuas diri dalam hal bekerja dan
berkarya. Siti Waliyati, potret menarik perjuangan guru dalam berkreativitas.
Tak ada yang sulit jika kita terus mau belajar dan memperbaiki diri. Berangus rasa
berpuas diri karena ini ancaman nyata menjadi guru kreatif.
Gaji yang minim, sulitnya akses pengembangan diri, jarangnya kesempatan
mengikuti training guru, statusnya yang masih guru honorer, bukan alasan bagi
Siti untuk tidak bisa jadi guru kreatif. Lantas, apa yang bisa membuat Siti
melawan segala keterbatasan yang ada?
“Saya akan terus berjuang untuk mendidik anak-anak Langkahan, kasihan
kalau mereka tidak ada guru. Mereka tak akan pernah punya masa depan,” Siti
menegaskan komitmennya berikhtiar tuk jadi guru yang baik. Ternyata sederhana
saja, komitmen diri, itu kunci menjadi guru kreatif. Siti Waliyati, salah satu
contoh terbaik sosok guru kreatif.
Kisah sederhana tentang pengabdian guru di daerah terpencil yang mudah
kita akses melalui internet, seharusnya tidak sekedar hanya sebagai cerita
selingan yang menawan hati dan menumbuhkan sikap sesaat keprihatinan. Namun
seharusnya mampu menjadi pembanding, introspeksi diri khususnya dalam hal
berprestasi dan bertumbuh-kembangnya inovasi bagi rekan guru yang lain,
khususnya bagi guru yang bertugas di tempat yang akses untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran tersedia. Sekaligus menjadi pembakar semangat untuk
berjuang memajukan pendidikan di tanah air.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar