RSS

Selasa, 29 April 2014

Refleksi: Guru dan Tunjangan Sertifikasi


Ada satu status teman di facebook tentang tunjangan sertifikasi guru yang menarik perhatian saya, isi statusnya adalah :

"Isuk-isuk kuring ka atm BJB bade ngecek tunjangan profesi. Sup kartu diasupkeun, bray monitor hurung, barang dibaca, kuring kacida reuwas & era sabab aksara dina layar teh kieu :
'kuring geus bosen ningali rupa anjen anu jol deui jol deui noongan duit sertifikasi, ceuk kuring ge maneh teh gawe heula sing bener, ke ge kuring datang sorangan, jung berangkat akhh, tuh barudak barongkeakan euweuh guruna !'
emh... Kuring teh leos deui mulang bari pinuh ku karumasa... "

Status tersebut mungkin mencerminkan dan mewakili perasaan dan kondisi sebagian guru-guru sekarang. Ah tapi mungkin juga itu hanya lelucon saja dan tidak mewakili realitas guru yang sebenarnya.  

Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, kita cukup tersenyum saja setelah membaca status tersebut. Habis masalah. Tapi, kalau kemungkinan pertama yang terjadi, ini yang bermasalah. Perlu kita bahas bersama.

Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Tujuan utamanya adalah meningkatkan profesionalitas guru sehingga kinerjanya lebih baik dan kualitas pendidikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya profesionalitas guru tersebut.

Sebagai konsekuensi logis dari disandangnya predikat guru profesional, maka guru yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi, yaitu sejumlah uang yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok PNS tiap bulan. Dengan adanya tunjangan tersebut diharapkan kesejahteraan para guru meningkat dan yang lebih utama dan esensial adalah kualitas guru semakin baik dan kompetensinya semakin terasah.

Melihat status diatas, jauh panggang dari api jika dikaitkan dengan tujuan pemberian tunjangan sertifikasi guru. Sepertinya proses sertifikasi kurang mampu membangun etos kerja guru tetapi justru membuat para guru haus tunjangan. Jangankan berbicara tentang profesionalitas guru, melaksanakan kewajiban utamanya saja (mengajar) sudah tidak mampu.

Tunjangan profesi seharusnya bukan menjadi tujuan utama dan bukan segala-galanya. Semangat atau tidaknya mengajar bukan dikarenakan ada atau tidaknya tunjangan profesi. Karena Mendidik merupakan panggilan jiwa, panggilan hati nurani. Harus ada komitmen yang kuat untuk berusaha jadi guru yang professional.

Banyak contoh kehidupan guru yang meskipun kesejahteraannya kurang, tapi komitmen terhadap pendidikan tetap tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang gajinya sudah tinggi tapi tetap ogah-ogahan mengajar. Semua ini berpulang kembali pada mentalitas guru tersebut.

Sebagai komparasi dan bahan refleksi saya kutip kisah inspiratif dari guru di daerah terpencil yang kondisinya serba kesulitan, baik dari tunjangan kesejahteraan guru maupun sarana dan prasarana pendidikannya.

Si Guru Kreatif dari Langkahan

Ada sebagian guru percaya bahwa menjadi sosok yang kreatif itu sulit. Apalagi kalau ditambahi alasan gaji pas-pasan, mengajar di daerah pelosok, media pembelajaran sangat terbatas, maka semakin yakinlah bahwa kreativitas itu memang sulit dilakukan. Mungkin, hanya guru-guru istimewa saja yang bisa kreatif. Lantas, apa benar jadi guru kreatif itu sulit?

Sebut saja namanya Siti Waliyati, anak yang terlahir dan mengabdikan dirinya di pelosok desa. Sekarang dia mengajar di SDN 8 Langkahan (Aceh Utara). Saya kaget bukan main, SDN 8 Langkahan terletak jauh sekali dari pusat kota. Perlu waktu sekitar 1,5 – 2 jam dari kota Lhokseumawe agar bisa sampai di SDN 8 Langkahan. Jalannya cukup berliku dan berbatu, berdebu di musim kemarau, dan berlumpur di kala hujan. Mobil tumpangan saya pernah terjebak lumpur, rombongan babi hutan sempat menghadang, bahkan saya hampir nyasar ke hutan karena salah jalan. Namun, bagi Siti, hal semacam ini sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Gaji Siti sangat kecil kalau tidak mau kita sebut alakadarnya. Dia tak pernah risau dengan statusnya sebagai guru honorer. Dia tak pernah berpikir bisa jadi guru hebat nan kreatif karena segala akses pengembangan diri sungguh sangat terbatas. Keikutsertaan menghadiri training guru bisa dihitung dengan jari, buku referensi hampir jarang ditemukan. Supervisi dari kepala sekolah tidak pernah rutin dijalani. Tapi, di sinilah kehebatan Siti sedang diuji. Mungkinkah dia bisa jadi guru hebat dengan segala keterbatasan yang ada?

Jawabannya ternyata ditemukan juga. Lomba Inovasi Media Pembelajaran Se-Kecamatan Langkahan menjadi saksi bisu atas perjuangan Siti menjadi guru hebat nan kreatif. Lomba itu memberi tantangan khusus kepada peserta untuk membuat inovasi media pembelajaran yang kreatif, orisinil, dan bisa digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Ada 17 peserta yang lolos ke babak final. Saya ingat betul, Siti menjadi peserta yang mendapat giliran tampil kedua untuk menyajikan hasil karyanya. Bungkus rokok, potongan kayu-kayu kecil, potongan karet sendal jepit berbentuk lingkaran, sedotan, dan sebuah balon, berhasil disulap menjadi mobil-mobilan. Saya dibuat penasaran jadinya. Apa yang hendak ditunjukkan Siti kepada dewan juri?

Dengan gaya khasnya, dia menjelaskan apa dan mengapa tujuan media itu dibuat. Semua dewan juri menganggukkan kepala tanda memahami apa yang disampaikan Siti. “Dengan alat ini, saya ingin membantu siswa memahami konsep gaya,” urai Siti meyakinkan. Situasi menjadi sedikit tegang ketika Siti harus mendemonstrasikan alat itu. Sesaat Siti menghela nafas, lalu meniup balon dengan sedotan, dan diletakkannya balon itu di bagian rangka mobil, lalu apa yang terjadi?

Sontak suara tepuk tangan riuh bergema di semua sudut ruangan, mobil itu berhasil meluncur dengan bantuan udara yang keluar dari balon. Fantastis. Beberapa dewan juri sempat pula meminta Siti melakukan hal itu berulang-ulang. Wualah, orang tua aja senang bukan main belajar dengan alat ini, apalagi anak-anak. Pikiran itu terlintas di benak saya. 

Siti benar-benar berhasil menyihir dewan juri dengan kreativitasnya yang tiada tara. Apalagi setelah melihat penampilan peserta lainnya, mereka hampir tidak mampu menunjukkan aspek orisinalitas produk inovasi dan kemudahan bahan yang akan dibuat media pembelajaran tersebut. Yang ada, mereka hanya membawa contoh media pembelajaran yang sudah jadi dan bisa didapatkan di pasaran, seperti  globe, gambar-gambar hewan dan tumbuhan, dan media sejenis lainnya.

Untuk dua hal ini, orisinalitas gagasan dan kreativitas meracik bahan baku pembuatan media, Siti berhasil mengungguli peserta lainnya yang relatif sudah memiliki pengalaman mengajar lebih lama dari Siti. Belum lagi kalau mau dibandingkan dari aspek besar gaji yang diterima, frekuensi keikutsertaan mengikuti training guru, dan keterasingan dari akses pengembangan diri lainnya, Siti kalah telak dari kontestan lainnya yang sebagian besar sudah menjadi guru PNS.

Ah, tapi apa hubungannya antara kreativitas dan besarnya gaji? Apa memang betul senioritas dalam hal pengalaman mengajar berbanding lurus dengan kreativitas? Status guru PNS atau honorer, berpengaruhkah pada sikap kreatif seorang guru? Ah, Bu Siti mungkin tahu jawabannya.

“Ini baru awal, saya akan berjuang lebih keras lagi untuk menjadi guru yang baik,” Siti sempat berujar di sela-sela acara pengumuman pemenang lomba. Dan tekad itu dibuktikannya pula. Secara otodidak, Siti terus mempelajari banyak hal untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Sampai akhirnya, dia terpilih mewakili SDN 8 Langkahan untuk menjadi pembicara di Event Hari Guru Nasional 2010 silam di Jakarta.

Apa yang dia bicarakan tidak jauh-jauh dari apa yang sudah dilakoninya selama ini. PAIKEMI (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan Islami), istilah populer yang kerap masih sulit dilakukan sebagian besar guru yang belum sadar akan manfaat dari strategi mengajar ini. Guru yang usianya terhitung masih sangat muda ini pun sangat konsisten mempraktikkan PAIKEMI di kelasnya.

Kreatif, semua orang bisa miliki sifat ini. Kreativitas, menuntut proses belajar tiada henti dan tidak pernah merasa berpuas diri dalam hal bekerja dan berkarya. Siti Waliyati, potret menarik perjuangan guru dalam berkreativitas. Tak ada yang sulit jika kita terus mau belajar dan memperbaiki diri. Berangus rasa berpuas diri karena ini ancaman nyata menjadi guru kreatif.

Gaji yang minim, sulitnya akses pengembangan diri, jarangnya kesempatan mengikuti training guru, statusnya yang masih guru honorer, bukan alasan bagi Siti untuk tidak bisa jadi guru kreatif. Lantas, apa yang bisa membuat Siti melawan segala keterbatasan yang ada?

“Saya akan terus berjuang untuk mendidik anak-anak Langkahan, kasihan kalau mereka tidak ada guru. Mereka tak akan pernah punya masa depan,” Siti menegaskan komitmennya berikhtiar tuk jadi guru yang baik. Ternyata sederhana saja, komitmen diri, itu kunci menjadi guru kreatif. Siti Waliyati, salah satu contoh terbaik sosok guru kreatif.

Kisah sederhana tentang pengabdian guru di daerah terpencil yang mudah kita akses melalui internet, seharusnya tidak sekedar hanya sebagai cerita selingan yang menawan hati dan menumbuhkan sikap sesaat keprihatinan. Namun seharusnya mampu menjadi pembanding, introspeksi diri khususnya dalam hal berprestasi dan bertumbuh-kembangnya inovasi bagi rekan guru yang lain, khususnya bagi guru yang bertugas di tempat yang akses untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tersedia. Sekaligus menjadi pembakar semangat untuk berjuang memajukan pendidikan di tanah air.


Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar