RSS

Jumat, 25 April 2014

CINTA YANG LIMA, LUPA YANG LIMA



“Pada akhir zaman, manusia akan mencintai lima perkara seraya melupakan lima perkara. Yaitu cinta dunia melupakan akhirat, cinta kehidupan melupakan kematian, cinta istana melupakan astana, cinta penghasilan melupakan perhitungan, cinta mahluk,melupakan Kholiq.” (hadits)

Sebuah Status teman di Facebook ini sangat menarik perhatian saya, sebuah keberuntungan bagi saya, ketika rasa ingin tahu saya tergugah. Nalar saya coba mencerna maksud hadits tersebut, ternyata ada dua hal yang menarik, pertama prediksi tentang kondisi akhir zaman, dan kedua, pembandingan antara dua kutub yang berlawanan yaitu kecintaan terhadap materi dan lupa terhadap immateri
Yang jadi pertanyaan mendasar adalah : apakah itu sudah terjadi pada saat ini ? dan apa penyebabnya ?

 Marilah kita lihat kondisi jaman kita sekarang. Bangsa Indonesia disuguhi gambaran buram, dan tanpa sedikitpun dapat memberikan optimisme. ketika melihat segala lapisan tokoh publik, melakukan  “moral hazard” (kejahatan moral). Para tokoh, pimpinan partai, dan penyelenggara negara tak satupun menunjukkan komitmen pada moralitas. Tidak ada yang bisa menjadi suri tauladan. 
Korupsi yang sudah sistemik, hanyalah salah satu puncak gunung es. Korupsi yang dijalankan para tokoh, pimpinan partai, dan penyelenggara, hanyalah salah satu indikator, bahwa elite di negara ini, sudah mengidap penyakit “klaptokrasi” (maling).
Sekalipun bangsa Indonesia mayoritas beragama. Nilai-nilai agama yang mulia tidak mempengaruhi hidup mereka. Tidak ada atsarnya (bekasnya) di dalam kehidupan mereka. Mayoritas para tokoh, pimpinan partai, dan penyelenggara negara, tidak sedikitpun percaya tentang  kehidupan akhirat, dan tentang adanya hari pembalasan (yaumul hisab).
Mereka berlomba-lomba dalam ta’awanu ‘alal ismi wal ‘udwan (tolong-menolong berbuat maksiat dan kejahatan), bukan ta’awanu alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan). Ittijah atau orientasi mereka semata-mata hanyalah mencari kenikmatan kehidupan dunia. Berlomba-lomba mengejar materi dengan segala cara. Menghalalkan segala cara. Tidak ada yang menjadikan agama sebagai sandaran hidup mereka. Sehingga, tidak  ada batas tentang halal dan haram. Semua menjadi halal.
Tidak heran berbagai penyimpangan terus berlangsung. Karena mereka sudah tidak lagi memiliki restriksi (hambatan) dalam hidup mereka. 
Hadits diatas memberikan gambaran bahwa semua kerusakan yang terjadi karena lebih mengutamakan kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat materi dan melupakan hal-hal yang immateri. Faham seperti ini dalam konteks ilmiah disebut dengan materialisme.
Materialisme dalam pengertiannya yang sederhana adalah suatu paham yang memandang dunia materi sebagai kehidupan yang realistis, sebaliknya alam ukhrawi  merupakan kehidupan maya, khayalan dan tidak realistis. Dalam buku Islam At The Crossroad dijelaskan bahwa materialisme adalah penyembahan terhadap kemajuan materi dan kepercayaan bahwa dalam hidup ini tiada tujuan lain selain membuat hidup semakin lebih mudah dan tidak tergantung dari alam. 
Dari segi budaya, materialisme menciptakan manusia-manusia yang moralnya terbatas pada masalah kebutuhan praktis belaka, yang ukuran kebaikan dan kejahatan tertingginya adalah keberhasilan materi. Perilaku-perilaku konsumtif, hedonis, dan prestise merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya materialisme ini.
Pola pikir sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya suatu hal yang natural bagi manusia. Karena untuk bertahan hidup (surivive), manusia harus memenuhi kebutuhan fisiknya. Namun akan menjadi ”penyakit” yang sangat berbahaya jika manusia terlalu mendewakan materi dalam meningkatkan taraf hidup duniawinya. 
Dengan melihat realitas kehidupan masyarakat kita, disadari atau tidak, materialisme telah mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat kita. Budaya konsumerisme misalnya, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari materialisme. Konsumerisme adalah budaya pemenuhan segala keinginan diri bukan atas dasar kebutuhan tapi atas dasar gengsi  atau yang lainnya. Budaya ini menghargai orang bukan karena ilmu dan perilakunya tapi karena banyaknya uang yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi. Semakin banyak dan prestitius barang yang dibeli seseorang, semakin akan dihargai. Supaya mendapatkan penghargaan, orang rela membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan atau di luar kemampuannya. Tak heran jika korupsi pun merajalela. 
Materialisme jelas-jelas berbahaya. Sebagai seorang muslim, kita wajib menghindarinya agar tercapai kebahagian hidup. ”Kebahagian” adalah kepuasan dan ketentraman lahir-batin, fisik-spiritual dan dunia-akhirat, bukan ”kesenangan” yang hanya mengandalkan kepuasan duniawi semata. Jika direnungkan secara luas dan mendalam, nilai-nilai Islam seperti iman, ihsan, ikhlas, tawakkal, qona’ah, syukur dan sabar, benar-benar akan menjadi ”obat mujarab” untuk menangkal bahaya laten materialisme yang semakin merajalela.
Sebagai bahan renungan saya ingin mengutip firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77: 
”Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
Dan juga sabda Rasulullah saw : ”Yang terbaik di antara kalian bukanlah orang yang beramal untuk dunianya tanpa akhiratnya. Juga bukan orang yang beramal untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Tetapi yang terbaik di antara kalian adalah orang yang beramal untuk keduanya”.
Semoga kita terhindar dan tidak termasuk golongan orang-orang yang mencitai yang lima dan melupakan yang lima.  Amin ....

0 komentar:

Posting Komentar